KiaiAs'ad lahir di Mekah ketika Kiai Syamsul Arifin studi di sana. Dan Kiai Syamsul Arifin telah menghabiskan 40 tahun dari 110 tahun usianya di Mekah. Di Mekah, Kiai Syamsul Arifin berguru kepada banyak ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten (1813-1897 M.) yang 24 karyanya banyak dibaca di pesantren-pesatren Jawa dan Madura. Ingat bahwa sebelum NU dideklrasikan oleh Hadratussyekh KH Hasyim, ada semacam isyarah langit dari Gurunya melalui santri Syaikhona Kholil yang bernama Kiai As'ad. Pada waktu itu, sebelum tasbih yang dikalungkan terlebih dahulu tongkat dulu yang di berikan sang maha guru kepada Mbah Hasyim. 61 KH. R. As'ad Syamsul Arifin Inisiator Pendirian NU 6.2 KH. R. As'ad Syamsul Arifin membesarkan partai NU 6.3 Berhasil mengembalikan NU kembali ke Khittah 1926 7 Karomah 7.1 Pejuang Kemerdekaan 7.2 Bisa Muncul di Banyak Tempat 7.3 Pasir Jadi Dentuman Senjata 7.4 Mecah Diri JadiKiai Kholil tidak perlu ikut antri bersama santri yang lain, cucian juga akan dicucikan, tidak perlu antri kamar mandi. Ini bukan permintaan seorang santri kepada kiainya, tapi perintah seorang kiai kepada santrinya," kata Kiai Hasyim. Mendengar itu Kiai Kholil terkejut, lalu berdiri dan menuruti perintah "guru"-nya. Sungguh indah bukan. KholilBangkalan: Sejarah, Karomah, Dan Kata Bijaknya. KH. Kholil Bangkalan, tidak ada satu orang pun di Indonesia yang tidak mengenal beliau. Ulama Kharismatik dari pulau garam Madura yang sangat kesohor sejak jaman kolonial hingga saat ini. Bahkan kuburan beliau di Bangkalan tidak pernah sepi dari pengunjung. hW6III. Tepat pada tanggal 27 Januari 1820 M atau tepatnya Selasa 11 Jumada ats-Tsaniyah 1235 H, Abdul Latif seorang Kyai Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan , ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan. Pada hari itu, dia mendapat karunia seorang putra yang diberi nama Muhammad Cholil. Syaikhona Cholil merupakan seorang ulama asal Madura yang hidup pada 1820 sampai 1925. Pada usia 24 tahun, Syekh Cholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih. Mbah Cholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya. Melawan Penjajah Kehidupan Syaikhona Cholil al-Bangkalani tidak lepas dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Kiai Cholil melakukan perlawan terhadap para penjajah di zaman kolonial dengan caranya sendiri. Dalam buku “99 Kiai Kharismatik Indonesia Riwayat, Perjuangan, Doa dan Hizib”, KH A. Aziz Masyhuri menjelaskan, dalam melawan penjajah Kiai Cholil tidak melakukan perlawan secara terbuka tetapi ia lebih banyak berada di belakang layar. Syaichona Cholil adalah guru para ulama pejuang di pulau Jawa. Beberapa ulama pejuang yang pernah berguru kepada Syaichona Cholil antara lain, pendiri Nahdatul Ulama KH Hasyim Asyari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Bisri Mustofa, KH Nawawi, dan KH Asad Syamsul Arifin. Kiai Cholil berasal dari keluarga ulama dan keturunan wali sembilan. Ayahnya, Kiai Abdul Latif mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Para ulama nusantara kebanyakan pernah menjadi santri Kiai Cholil, termasuk pendiri Nahdlul Ulama NU, KH Hasyim Asy’ari. Riwayat Pendidikan Syaikhona Cholil Sejak kecil Muhammad Cholil dididik sangat ketat oleh sang ayah. Kebetulan juga Mbah Cholil di masa kecil sangat haus akan ilmu. Terutama yang berkaitan dengan ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan lebih istimewanya lagi ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Malik sejak usia muda. KH. Abdul Latif kemudian mengirim Mbah Cholil kecil untuk menimba ilmu yang lebih luas ke sejumlah pesantren. Awal pendidikan Mbah Cholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban , Jawa Timur. Setelah menimba ilmu dari Langitan Mbah Cholil pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian Mbah Cholil melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama menimba ilmu di pondok pesantren ini, Mbah Cholil belajar dengan Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, berjarak 7 kilometer yang harus ditempuh dari Keboncandi. Saat melakukan perjalanan dari Keboncandi ke Sidogiri, Mbah Cholil selalu membaca Surat Yasin. Mbah Cholil di masa muda memiliki keinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Pada saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Cholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah setelah menikah. Untuk ongkos melakukan perjalanan bisa ia tutupi dari hasil kerja kerasnya menabung saat masih menyantri di Banyuwangi. Selama melakukan pelayaran menuju Mekkah, konon, Mbah Cholil berpuasa. Hal ini disebabkan bukan karena untuk menghemat uang, namun tujuan ini agar dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah dan agar selamat sampai tujuan. Guru KH Syaichona Cholil KH Syaichona Cholil pernah berguru kepada beberapa ulama baik di Indonesia maupun di luar negeri, di antaranya Abdul Lathif Ayahnya Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Nur Hasan di Pondok Pesantren Sidogiri, PasuruanSyekh Nawawi al-Bantani di MekkahSyekh Utsman bin Hasan Ad-DimyathiSayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di MekkahSyeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di MekkahSyeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Mekkah Murid-murid KH Syaichona Cholil Berikut merupakan murid-murid dari KH Syaichona Cholil yang tersebar di seluruh Indonesia Muhammad Hasan Sepuh – pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong, Hasyim Asy’ari – pendiri Nahdlatul Ulama, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Abdul Wahab Hasbullah – pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Bisri Syansuri – pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Manaf Abdul Karim – pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Ma’sum – Lasem, Munawir – pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Bisri Mustofa – pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Nawawi – pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Ahmad Shiddiq – pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, As’ad Syamsul Arifin – pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Abdul Majjid – Batabata, Toha – pendiri Pondok Pesantren Batabata, Abi Sujak – pendiri Pondok Pesantren Astatinggi, Kebunagung, Usymuni – pendiri Pondok Pesantren Pandian, Zaini Mun’im – Paiton, Khozin – Buduran, Abdullah Mubarok – pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Mustofa – pendiri Pondok Pesantren Macan Putih, Asy’ari – pendiri Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari, Sayyid Ali Bafaqih – pendiri Pondok Pesantren Loloan Barat, Ali Wafa – Tempurejo, Munajad – Kertosono, Abdul Fatah – pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, Zainul Abidin – Kraksaan, Zainuddin – Abdul Hadi – Zainur Rasyid – Kironggo, Karimullah – pendiri Pondok Pesantren Curah Damai, Muhammad Thohir Jamaluddin – pendiri Pondok Pesantren Sumber Gayam, Hasan Mustofa – Raden Fakih Maskumambang – Gresik Pahlawan Indonesia Sesuai dengan jasanya melahirkan banyak ulama dan pemimpin di Indonesia, beberapa tokoh mengusulkan KH Syaichona Cholil menjadi Pahlawan Nasional. Meskipun nama beliau sudah harum dan tidak memerlukan gelar dari manusia lagi. Banyak ditemukan dalam berbagai literatur ulama kata “Ya Fulan”, atau Ya Fulanah”, “Fulan bin Fulan” atau “Fulanah binti Fulanah” dan lain sebagainya. Kata-kata ini biasa digunakan untuk menyebutkan seseorang yang tidak diketahui identitasnya atau kurang elok menyebut namanya. Kata “Fulan” atau “Fulanah” dalam KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia diserap menjadi polan, memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata anu. Dalam bahasa Inggris dengan sebutan so-and-so untuk makna ini atau tergolong daftar kata placeholder name kata yang dapat merujuk pada benda, orang, tempat, waktu, angka, dan konsep lain yang namanya dilupakan sementara, tidak relevan, atau tidak diketahui dalam konteks pembahasannya Sedangkan dalam bahasa Arab sebagaimana yang disebutkan dalam al-Mu’jam al-Wasith, kata “Fulan” digunakan sebagai kata Kinayah metaforik dari alam nama untuk menyebutkan orang laki-laki yang berakal, sedangkan kata “Fulanah” digunakan untuk alam nama untuk menyebut orang perempuan yang berakal. Kedua lafadz tersebut tergolong lafadz Ghairi al-Musharif tidak menerima tantwin dan kadang dalam penyebutannya kata “Fulan” atau “Fulanah” banyak ditulis dengan bentuk kata فُلُ Fulu untuk menyebut orang laki-laki dan فلاة atau وفُلَة untuk menyebut orang perempuan dalam konteks Nida’ memanggil. Juga kadang didepan “Fulan” atau “Fulanah” ditambahkan أل Al menjadi kata الفلان dan الفلانة yang digunakan sebagai kata Kinayah metafora dari nama selain anak Adam manusia seperti contoh ركبت الفلان saya menunggang hewan anu dan حلبت الفلانة saya memerah susu hewan anu yang digunakan sebagai Kinayah metafora dari kata Kuda, Unta dll. Dalam al-Qur’an kata “Fulan” hanya disebutkan satu kali yaitu dalam Surat Al-Furqan 28, yang berbunyi يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا Artinya “Wahai, celaka aku! Sekiranya dulu aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” Syaikh ishomuddin Ismail bin Muhammad al-Hanafiy w. 1195 H dalam Hasyiyah al-Qunawiy ala Tafsiri al-Imam al-Baidhawiy yang ditulis oleh Syaikh Nashiruddin Abdullah bin Umar bin Muhammad as-Sairaziy w. 685 H menjelaskan Kinayah metafora mengunakan kata “Fulan” dalam Ayat tersebut, beliau berkata Kinayah metafora dalam Ayat ini adalah Kinayah metafora secara linguistik bahasa dan istilah ahli Nahwu bukan Istilah ilmu Ilmu Bayan salah satu fan ilmu Balaghah, yaitu Kinayah metafora dari setiap Alam nama dengan cara mengganti kata tanpa tertentu pada satu Alam nama. Para ahli Nahwu berkata Orang Arab biasa membuat Kinayah metafora dengan kata “Fulan” untuk Alam nama orang laki-laki yang berakal seperti Zaid dan dengan kata “Fulanah” untuk bagi Alam nama orang perempuan yang berakal seperti Fatimah. Ibnu Hajib menyaratkan dalam menggunakan Kinayah metafora dengan kata “Fulan” dalam konteks menceritakan sebuah perkataan sebagaimana dalam Ayat ini dan yang dimaksud kata “Fulan” dalam Ayat tersebut adalah Setan atau orang yang menyesatkan dari kalangan manusia dan jin di dunia atau Ubaiy bin Khalaf sebagaimana yang jelaskan Syaikh Syihabuddin Mahmud al-Lusiy w. 1270 H dalam Tafsir Ruhu al-Ma’ani-nya. Sedangkan dalam kitab al-Ishabah fi Tamyizi ash-Shahabah karya Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolaniy w. 852 H mengatakan “Orang yang pertama kali menggunakan kata “Fulan ila Fulan” dalam sebuah tulisan adalah Qais bin Sa’ad bin Jadamah al-Ayadiy seorang orator ulung di zaman Jahiliyah yang meninggal dunia pada usia 380 tahun sebelum Nabi Muhammad SAW terutus. Waallahu A’lamu Penulis Abdul Adzim Referensi ✍️ Jumhuriyati Mishri al-Arabiyah Al-Mu’jam al-Wastih Maktabah asy-Suruq hal 702. ✍️ Syaikh ishomuddin Ismail bin Muhammad al-Hanafiy Hasyiyah al-Qunawiy ala Tafsiri al-Imam al-Baidhawiy Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 14 hal 80. ✍️ Syaikh Syihabuddin Mahmud al-Lusiy Tafsir Ruhu al-Ma’niy Al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsiyah hal juz 10 hal 13. ✍️ Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolaniy Al-Ishabah fi Tamyizi ash-Shahabah Daru al-Kutub al-Ilmiyah jilid 3 juz 5-6 hal 285.

kata kata kh kholil as ad